NGALOR NGIDUL TENTANG PUISI-PUISI INGGIT PUTRIA MARGA*
oleh oyos saroso Hn
I. Mungkin Dia Inggit
Ia hampir Inggit, ketika ia menulis: Adalah hujan/Yang mampu menyadur/Bahasa angin/Yang berdesir di titik air// Mungkin saja ia Inggit, ketika ia menulis angin di gorden turun naik/luka lidahku di lenganku/sisa cumbu yang pelik saat/adzan subuh menderik//. Sungguh, aku lupa, suatu saat dia pernah menulis sajak yang lebih berlemak seks untuk gadis seusianya. Apa judulnya? Aku lupa. Tapi aku pernah membacanya. Sempat hatiku tergerak untuk menulis tentang perempuan muda penyair yang tiba-tiba fasih berbicara soal seks itu. Tapi niat itu tertahan dan akhirnya lenyap begitu saja.
Untunglah dia menjadi Inggit, lalu menulis tentang tumbuhan, air, hujan, batu, telur, ayam, laut, lumut,daun, ricik air,–dengan sajak-sajak pendek yang kuat. Ah, aku ingat ada puisinya yang berbicara tentang tunas dan tumbuhan-tumbuhan. Menurutku itu puisi yang bagus sekali. Puisi yang ditulis dengan kefasihan. Fasih, karena penulisnya tahu betul apa yang sedang ditulisnya. Tapi, lagi-lagi sayang, aku lupa di mana puisi itu kini kesingsal.
Tak salah, dialah Inggit, ketika ia menulis “Senja dan Sedikit Perkiraan Tentangnya”. Begini ia menulis: Dari jendela rumah berwarna tembaga/Kusaksikan tangga dermaga semua/kiranya akan segera turun senja/Di ujung/Sebuah kota.
Ya, tentu larik-larik itu dengan tipografi yang “baru”. Tipografi masa kini, kata setengah orang. Tipografi yang sangat berbeda dengan tipografi para penyair puritan.
Bukan. Bukan karena tipografi puisinya maka perempuan penyair yang mungkin bernama Inggit layak dibicarakan. Ia memang lain. Bukan sekadar karena tipografi puisinya yang cantik seperti tipografi puisi Ari Pahala. Ia tidak seperti kebanyakan perempuan penyair Indonesia. Ia memberi warna lain bagi peta perpuisian Indonesia, meski warna lain itu katanya terkadang tersamar atau terhalang bayang-bayang para pendahulunya juga.Katanya? Ya, kata setengah orang. Tapi aku tak percaya pada setengah orang itu. Nyatanya, Inggit (kini) berbeda dengan mereka yang disebut pendahulu itu, semisal Isbedy Stiawan Z.S., Iswadi Pratama, atau Ari Pahala. Dalam beberapa puisi Inggit memang terkesan suka berpanjang-panjang dengan larik, mengejar rima begitu tekun (ah, aku jadi ingat sebuah Sekte Anulad di Negeri Dongeng yang suka menulis tentang laut atau jembatan dengan kata-kata panjang mendayu-dayu, cuma untuk mengejar irama bunyi dan musikalitas).Di tulis 10 April 2001 (saya menduga inilah tahun-tahun awal kepenyairannya), ia, mungkin Inggit namanya, menulis puisi “Makna-Makna” begini”:
Berapa makna di matamu,
Memberi retak pada batu
Yang diam
Di sudut malam
Berapa isyarat di matamu
Memecahkan,
Usang cermin
Menata bayang-bayang
Berapa makna
Isyarat mengabdi
Dan bersiasat.
Puisi berjudul “Sebelum Aku PergI (ditulis tahun 2000)”, seperti ini:
Terlalu kencang angin bertiup
Hingga ranting-ranting kamboja
Tak kuasa menahan dedaunan
Terpisah dari tangkainya
Aku masih di sini
Menghitung berapa nilai hujan
Membasahi ilalang
Hingga tak henti bergoyang
Melukis cahaya bulan
Yang jatuh berpendar
Kau tenang terlelap
Melupakan sajak yang kau buat
Menanti apa yang mesti kau jawab
Aku diam di sini
Kau tenang terlelap
Menurutku itu sebuah puisi yang sederhana. Namun, sebagai puisi ia berhasil. Tanpa mencangkih-canggihkan bahasa dan mengejar-ngejar rima, puisi itu sudah bicara begitu jelas.
II. Dia Memang Mau Menjadi Inggit
Aku tak tahu apa arti pendahulu bagi Inggit. Meski begitu aku sangat yakin, Inggit, seperti penyair lain di dunia mana pun, pernah membaca puisi-puisi para pendahulu. Dan mungkin, dalam satu-dua puisi, keterpengaruhan pendahulu itu ada. Setidaknya larik-larik tipografi, pola ungkap, pemakaian majas, metafora, dll, pastilah pernah Inggit baca dari para pendahulunya (lagi pula siapa yang tak pernah membaca para pendahulu?). Dua puisi di atas, yang bisa dikatakan sebagai dua puisi yang mewakili puisi-puisi awal kepenyairan Inggit, sangat berbeda dengan puisi-puisi Inggit yang ditulis lebih belakangan. Tapi, aku malas bicara soal itu. Lebih baik kini kita bicara soal proses, sebuah proses mencipta yang oleh filsuf Alfred Whitehead sebut sebagai “proses untuk menjadi”.
Dalam proses “meng-Ada”, manusia pada dasarnya selalu dalam proses untuk menjadi. Menjadi apa? Tak lain dan tak bukan menjadi Manusia Utuh. Manusia yang pada dirinya sendiri memiliki potensi-potensi, kelemahan-kelemahan; manusia yang ingin selalu mengagregasikan seluruh potensi dirinya menjadi bagian dirinya yang utuh. “Menjadi Islam yang kaffah”, kata mereka yang beragama Islam; “Menjadi empu hebat,” kata pembuat keris. Aku tak tahu bagaimana Inggit Putria Marga, mungkin itu nama panjangnya, berproses untuk menjadi penyair. Ya, ada baiknya kita perlu tahu bagaimana Inggit mengetam kata menjadi manik-manik frasa dan frasa-frasa itu membangun sebuah puisi yang utuh-padu.
Periksa puisi berikut:
dalam secangkir teh
sukma daun dan tubuh gula
berjumpa
laut tanpa prasangka
tak bisa lagi
mendua
(Puisi “Karena Air”)
Mungkin tidak bermaksud membuat haiku, tapi puisi tersebut menyaran seperti haiku: sederhana dan langsung telak ke sasaran. Perhatikan juga puisi berikut:
Ada yang menitik,
Sembunyi pada celah batu
Ada yang mengalir
Ada yang beku
(Puisi “Firman”)
Kali lain, Inggit menampakkan kenakalan tak terduga:
penyair : seandainya kamu penyair, apa yang kamu tulis?
temannya : ketidakindahan, sesuatu yang ada pada diriku sukar ditemukan
(Puisi “Penyair dan Temannya”).
Saya pribadi lebih menyukai puisi-puisi pendek Inggit. Saya bisa merasakan ekstase tekstual justru ketika puisi hadir di depan saya seperti orang menonjok, lalu tiba-tiba merintih sedih. Bukan seperti orang yang datang dengan tiba-tiba, lalu bercerita panjang tentang kisah pribadinya hingga berjam-jam. Apalagi kalau seseorang itu, mungkin juga bernama puisi, hendak membawaku larut dalam imajinasinya dengan kerajinan kata-katanya (persis seorang sales yang datang ke rumah untuk menawarkan barang) memaksaku untuk memahami pengalamannya menjadi pengalamanku juga.
Menurutku, Inggit termasuk sedikit dari penyair Indonesia yang masih memperhatikan semantik dan gramatika. Ah, soal ini—semantik dan gramatika– aku sering keqi sendiri kalau membaca sebuah puisi karya penyair Indonesia gramatikanya amburadul. Jadi penyair kok modal nekat, pikirku. Tapi begitulah dunia kepenyairan di Indonesia, banyak penghuninya yang notabenenya disebut penyair hanya numpang keren dengan status kepenyairannya. Penyair-penyair payah nan parah justru banyak menghiasi lembaran-lembaran media massa karena piawai bermain politik.
Oho, aku jadi ingat Nirwan Dewanto, si pongah yang tukang mencaci itu. Aku banyak beda pendapat dengan Nirwan dalam menilai puisi. Namun, aku setuju dengannya untuk satu hal: puisi yang baik adalah puisi yang mampu melahirkan ambiguitas, yang memungkinkan tafsir berlapis-lapis. Dengan rumpang antar-frasa, kata Nirwan (dan pasti Nirwan juga mengutip pendapat orang lain), kita mendapatkan permainan antara sunyi dan bunyi, rupa dan kekosongan, kata-hati dan kata-kepala. Ya, puisi menjadi sering menakjubkan—bahkan sering tak disadari penyairnya sendiri—karena ada rumpang sunyi, ada imaji yang tak terduga, ada estetika dionisian yang ditawarkan. Puisi-puisi yang berhasil, yang membuat rasa takjub, biasanya bukan sekadar puisi yang ditulis dengan semangat pengrajin (ciri khas seni appolonian). Puisi yang berhasil pada dasarnya adalah puisi yang ditulis secara jujur, sebagai manifestasi proses internalisasi penyairnya terhadap pengenalannya tentang realitas.
Cara ungkap, pola ucap, ataupun kredo tertentu yang dihasilkan seorang penyair akan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, peresapan, dan penghayatan penyair terhadap entitas suku, warna lokal, kebijakan lokal maupun global yang dihayati penyairnya sebagai sebuah habitus (meminjam istilah Pierre Bourdieau).
III. Semoga Dia tetap Inggit
Saya tahu Inggit pernah menulis puisi panjang, naratif—seperti yang sedang menggejala dalam beberapa tahun belakangan ini. Bagus memang. Tapi, dalam puisi-puisi panjang itu, saya kok seperti melihat wajah Inggit yang lain. Ia mungkin terpaksa untuk tidak menjadi Inggit, sehingga harus menulis puisi yang panjang-panjang (padahal untuk mengungkapkan satu hal yang tak terlete-lete), mengejar-ngejar rima. Tidak. Ia justru menjadi Inggit Putria Marga jika bisa mengeksplorasi kekuatan yang ada pada dirinya dengan caranya sendiri, dengan bahasa ungkapnya sendiri.
Dalam penglihatan saya dari kejauhan, Inggit termasuk penyair yang sangat layak diperhitungkan dalam dua tahun terakhir. Saya belum menemukan ada penyair perempuan seusianya dari daerah di Indonesia yang sekuat dia. Ya, semoga ia kuat menjadi Inggit Putria Marga saja. Semoga—kalau ada—dia segera membunuh para pendahulunya…
Telukbetung, 23 November 2007