
berpagar pohon-pohon bungur yang bunganya gugur, aku seolah melangkah di permadani warna anggur. di kananku, kau berjalan dan berkata kau tak lagi ingin memelihara hewan. di kirimu, aku berjalan tanpa suara apalagi tangisan. tiba di perempatan kita berdiri berhadapan. kau memandangku, aku melihat matamu. katamu, selamat tinggal, hewan. aku menatap kau pergi tanpa suara, tanpa kata, tanpa tanda. jalan yang kutempuh menuju gedung ini semakin sunyi. aku ingin singgah di kedai tempat kau biasa minum-minum, namun tempat itu hanya terbuka bagi suatu kaum. di atas permadani panjang berwarna anggur, aku berjalan menghitung uang yang kau lempar ke wajahku setelah kau selesai dengan tubuhku. bunga-bunga bungur yang gugur, warna matahari yang nyaris luntur, menemani perjalananku ke gedung ini.
aku mencarimu, memasuki pintu, menaiki tangga, tiba di ruangan tertinggi, dan kau tak ada, hanya ruangan berdinding coklat pala dengan lukisan-lukisan hewan yang tergantung di tembok, cermin bundar roda, sepasang jendela kaca berukuran dua kali tinggi orang dewasa. ruangan ini menjelma peti tak terkunci, dinding-dindingnya menggemakan teriakan, tangisan, tembakan, tamparan, desah persetubuhan. lukisan-lukisan hewan yang terpaku di tembok seperti mengganti sendiri gambar dirinya dengan coretan-coretan abstrak bermakna tak tertebak. pada cermin berbentuk roda, aku melihat jelas gerakan tanganmu menjambak rambutku, sebelum ke ranjang, tubuhku kau hempaskan. tangan yang ribuan kali membelai sekaligus membantai, tangan yang kucintai tetapi menistai.
dari sepasang jendela kaca kusaksikan sebukit api melontar percik-perciknya. ah, aku mencintai api, mencintai diriku, juga mencintai dirimu. kita terlahir pasti karena dan untuk sebuah alasan. sepanjang jalan, bersama bunga-bunga bungur yang gugur dan warna matahari yang luntur, alasan kelahiranku telah kutetapkan: di ruangan yang menjelma peti, di tempat aku biasa disetubuhi dan diludahi ini, aku akan membakarmu. bayangkan, betapa bahagia menyaksikan semua yang kucintai bersatu: api, kau, dan aku yang ribuan kali kau sebut hewan .
:inggit putria marga
2010