18.6.10


PENAFSIR

(sajak Inggit Putria Marga)

gunung berapi yang tak pernah bertanya mengapa mengandung lahar dan batu

langit yang tak pernah menghitung berapa banyak memiliki biru
matahari yang tak pernah meneliti mengapa dikitari bumi
laut yang tak pernah bersuara meski jadi muara semua air yang pernah
meninggalkannya adalah sehelai dari rimbun sajak yang kau ciptakan
namun tak pernah khatam aku tafsirkan

pagi ujung januari

angin memulangkan bulan lalu membawa bumi kembali
ke cengkraman matahari, di lembah gunung berapi yang kau ciptakan,
aku berdiri menatap puncak sajakmu. ah, betapa kemerahan.
sepasang elang yang berputar di situ, ragam pohon yang tumbuh
kerontang bagai tiang-tiang batu, ruap samar tarian asap dari kerajaan
ilalang yang terpanggang, kutafsirkan sebagai kata-katamu yang
bertanya menantang: adakah tempat berkandang bagi seekor elang,
selain tubuhnya yang bermata nyalang?
namun, belum tuntas aku berpikir, tafsirku telah jadi abu ilalang yang
terbang dari tubuh sajakmu yang terguncang, tiba-tiba meledak,
mengeluarkan lahar, berpencar dan memercikan sebagian dirinya ke
sepasang elang bermata nyalang.

siang awal februari

hutan awan. putih hitam serupa sebelanga susu bercampur pekat air
selokan. di selembar daun yang dilayangkan sejenis pohon dari hutan
awan, aku duduk bersila memandang langitmu: sajak yang tak tertebak
luasnya itu. telapak tangan kanan kuletakkan di tengah dada, telapak
tangan kiri kubiarkan rekah di atas paha. wahai penyair dari para
penyair, bukan lantaran sajakmu yang adalah langit mampu
memayungi bumi dan planet-planet lain di antariksa, telapak tangan
kananku bergetar dan panas menyeruak tiba-tiba dari tengah dada. tapi,
sajakmu yang bila malam seperti kebun bintang-bintang, membuatku
menafsirkannya sebagai kasih sayang: biru luas tak berkurang dalam
gelap mau pun terang, terbuka dan tak menolak apa pun yang
memandang.

ah, mengapa daun tempatku bersila mesti tersambar petir
padahal sajakmu belum selesai kutafsir.

sore pertengahan maret

aku datangi kubur para leluhur
aku taburi mawar, kantil dan melur
agar genap tidur yang terkubur
agar lebur raga-sukmaku dengan pengatur, penghancur
pencipta matahari yang sesaat lagi mati di barat dan kembali lahir dari
timur.

matahari: ibu semua api, rumah seluruh sinar, sajak yang abadi
terbakar, jika engkau adalah penyair yang menciptakan dirinya sendiri
sebagai syair, diriku akan rela menjadi satu dari triliunan jarum sinar
yang kau tancapkan, lalu kau tarik kembali saat petang menyerah dan
mengelam dalam keperihan. tapi, engkau adalah matahari dan yang
menciptakanmu sebagai sajak adalah penyair yang tak kunjung
mengijinkanku untuk menafsirkanmu. ia datangkan malam. ia
enyahkan engkau dari pandangan. ia sekap aku dalam kegelapan.

malam akhir april

di sini, aku akan berhenti. tenggelam dan diam bersama peti-peti harta
karun, bangkai kapal, tengkorak para perompak yang gagal melawan
alam. aku tahu, muara semua air akan mengurai daging yang lekat
pada tulang-tulangku, hingga menyerpih. bagai buih, serpih-serpih
daging akan kembali mencapai permukaan. separuh terombang-ambing
dalam pelukan gelombang, sebagian menghantam karang, sisanya
mungkin nyaman dalam perut hiu yang terjerat pukat nelayan.

namun sebelum aku berakhir, biarkan aku menafsir
laut: sajakmu yang sesekali tenang, sesekali garang dan penuh kemelut
adalah makam yang paling makam dari seluruh makam. diterimanya
babi yang dilontarkan upacara pengorbanan suci, ditelannya abu para
resi yang mati, ia pelihara setiap air yang jatuh dan kembali. jika bukan
ke laut, kemana benda dan hamba akan mengalir saat matahari
membuat seluruh benda termasuk hamba meleleh dan mencair? bila
tak ke laut, benda dan hambalah yang akan menjelma laut: sesekali
tenang, sesekali garang dan memeram kemelut.

aku tahu, tafsirku hanya jejak kaki di padang pasir. mudah tampak
mudah pula terhapus angin yang tak tahu tak bergerak.
maka, wahai penyair dari para penyair
pencipta lahar yang mampu membakar semua tafsir
pemilik atap bumi yang melampaui semua tafsir
pengatur matahari yang bersinar di seberang segala tafsir
penguasa laut; penerima dan penghempas seluruh tafsir
di dasar muara semua air, aku berakhir, berhenti menafsir,
membiarkan engkau menciptakan aku sebagai satu dari sehimpun sajak
yang kelak tak sesiapa pun mampu memberi tafsir.

2009
BY: INGGIT PUTRIA MARGA